PENGGILA MALAM the story

Diposting oleh GORESAN PERADABAN Selasa, 19 Oktober 2010

Dalam perjalanan menuju Apartemen Misaki, pukul 23.01, sungguh sangat sepi. Khas Osaka di malam hari. Mungkin rata-rata dua mobil saja yang melintasi jalan raya. Dan tak ada bunyi bising klaksonnya. Pertokoan mulai tutup, hanya yang berlabelkan logo “24hr” yang masih melek. Halte-halte bus terlihat sepi. Busnya pun sepi pula. Hanya ada kondektur, supir dan maksimal 3 penumpang yang duduk di bangku belakang. Meski gemerlap lampu Osaka memerahkan rona malam tetap saja seperti pekuburan tempat para manusia terbenam di sibuknya pekerjaan mereka. Hanya beberapa pasang muda-mudi yang terlihat berjalan di trotoar. Entah sedang apa mereka malam-malam begini.
Apakah memang seperti itu?”, gumamnya. Sungguh mengasyikkan jika memang seperti itu. Pikirnya. Sungguh menyenangkan malam hari di Osaka, jika memang seperti imajinasinya. Imajinasi seorang gadis belia yang tak pernah memejamkan mata saat gelap, seperi penjaga yang mengantar malam ke tidurnya. Ia adalah seorang penggila malam. Penikmat sejumput kesunyian yang di bawa malam. Pencumbu angin yang dingin. Yang selalu melukis angannya di langit hitam. Membayangkan bintang-bintang membentuk formasi serupa bunga sakura musim semi yang amat ingin dilihatnya.
Begini saja sudah cukup.”, gumamnya lagi. Amat cukup baginya telah bisa menghadirkan bayangan pohon sakura. Karna ia tahu, peluangnya hanya berkisar nol koma sekian persen untuk bisa menginjakkan kaki di Jepang. Negara empat musim yang ia kagumi. Kekaguman tak terhingga pada gunung Fuji yang dari gambar yang dilihatnya begitu indah dengan taburan salju di sekitar puncaknya. Kekaguman yang teramat, karena dalam pikirannya Jepang itu kiblat kecerdasan. Lambang produktifitas yang tinggi.
Huff…..” Ia menghela nafas panjang. Sedikit lelah mungkin dengan perjalanan menuju dimensi imajinasinya. Karenanya ia menjadi perindu kedatangan malam. Dimana tak ia temukan kegelisahan yang menyerang kala siang datang. Ia menjadi pendamba malam yang memberinya kehangatan. Yang mengijinkannya melihat batas dunia yang serba gemerlap.
Kukuruyuuuuuuuuukkkkkkk…………..
Sudah matikah semua kucing di desa ini, hingga masih ada ayam yang mengeluarkan suara cemprengnya?”, katanya sambil sedikit marah. Selalu saja begini. Selalu marah jika ia berpisah dengan malam, karena itu berarti kembali ke dunia nyata. Dunia tempat ia harus membuang imajinasinya.
Nama saya Budi.”,ia berkata pada seorang laki-laki yang tengah duduk di depannya.
Name sayaaa Buuudiiiii…” tiru laki-laki itu dengan logat inggris-afrikanya yang masih kental.
Apa kabar?”, katanya lagi.
Ap khabar?” , si lelaki terus meniru.
Hidup di sekitar wilayah kampus menjadi sebuah keuntungan tersendiri baginya. Apalagi kampus ternama, yang didatangi pelajar luar negri. Dengan berbekal sedikit ilmu bahasa inggris yang didapat sewaktu ia mengenyam bangku SMA, ia menjadi guru les bahasa Indonesia khusus bagi para pelajar luar negri. Maklumlah, jarang di daerahnya ditemui orang yang mau mengajarkan bahasa Indonesia pada pelajar manca. Karena memang para pelajar mancanegara itu kebanyakan lebih memilih belajar sendiri ketimbang mengeluarkan uang untuk les bahasa Indonesia. 100.000 rupiah perbulan. Tak lebih. Itu pendapatannya dari menjadi guru les bahasa Indoesia.
Hidup begini kok mau ke Jepang.” Pikirnya di suatu malam. Menurut ilmu statistika yang dipelajari para mahasiswa yang ngekos disekitar rumahnya, peluang itu teramat kecil. Tapi bukan berarti tak mungkin, karena harapan itu tetap ada. Ibaratnya selama persediaan memory masih ada, pointer linked list tak mungkin menunjuk NULL.
Ia letakkan kedua telapak tangannya di bawah kepalanya. Ia rebahkan tubuhnya di dipan yang sengaja ditaruh di halaman rumah kontrakannya yang sempit. Ia mencoba menembus lapisan langit malam yang hitam pekat. Meraba apa yang ada di baliknya. Tapi tak bisa.
Mungkin seperti ini.
Yah mungkin seperti itu sulitnya meramal apa yang terjadi esok hari. Ibaratnya syntax printf tak berjalan, membuat tak ada output yang muncul di console otaknya.
Riaaaaaaaaaaaannnggggg……………” panggil kawannya dari dalam rumah.
Cepatlah awak siap-siap.” Kata temannya dengan dialek Medan.
Yah menjadi perantau di Surabaya ternyata susah. Senin hingga Kamis ia harus bekerja sebagai pelayan di sebuah kafe kecil tapi mewah di wilayah Semolowaru.
Riang Cipta Lintang.
Nama yang terjahit di baju kerjanya. Entah siapa pemberi nama itu. Ia juga tak tahu. Yang ia tahu hanya ia mempunyai seorang adik yang kini ditinggal di Medan. Tak berorang tua dan diasuh oleh panti asuhan dan kemudian menjadi perantau.
Jus alpokat 2, jus melon 1 ndak pake susu, kentang gorengnya 3 porsi plus sambalnya yang banyak ya…”
Riang mengangguk sambil tersenyum. Setiap hari olahraga mulut. Melayani tamu-tamu kafe yang hampir semuanya adalah mahasiswa. Orang-orang kaya bingung menghabiskan uang. Pikirnya. Bagaimana tidak? Pergolas untuk jus 15 ribu. Hanya gelas berukuran sedang. Per porsi kentang goreng 17.500. Berpasang-pasang muda mudi silih berganti mendatangi kafe tempat ia bekerja. Hampir setiap hari orang yang itu-itu saja yang ditemuinya. Meski hanya sekedar duduk-duduk dan bersendau gurau, para tamunya bisa menghabiskan waktu berjam-jam dan uang ratusan ribu.
Kehidupan yang membosankan”, anggapannya. Tak ada greget kesengsaraan. Ah sudahlah, toh bukan salah mereka dilahirkan sebagai orang kaya yang diberi rahmat Tuhan bisa mengenyam perkuliahan.
Tapi, tak kah mereka pikirkan orang-orang sepertiku? Tak kah mereka dididik untuk itu? ”
Ah sudahlah. Tiada guna. Begitu batinnya berkata di suatu waktu di Sabtu malam. Tiada guna memikirkan para mahasiswa yang kini terdidik untuk mengurus dirinya sendiri. Baginya mencari sesuap nasi itu lebih penting.
Baju kimono yang anggun. Sejarah hara-kiri yang menakjubkan. Salju putih yang amat dingin. Bunga sakura yang berguguran di musim semi. Jalan raya Osaka yang diramaikan para pejalan kaki di saat pagi. Kesunyian hidup di malam hari.
Bayangan itu tiba-tiba muncul lagi di benaknya di setiap malam perenungan Riang.
Kapankah kegilaan ini berakhir?Malam selalu berbaik hati mencipta teka-teki dengan segala misteri hitamnya langit. Ia menjadi selimutku yang hangat. Pendingin hati yang bergejolak karena ambisi. Penggelap segala ketakutanku. Dan pencipta imajiku.
“Riang… kenapa kau masih santai-santai? Lekas lah!”
Kawan Riang menghapus semua susunan bintang imajinasi di langit virtualnya.
Tepat jam 5 pagi. Ia berkeliling kampung Keputih untuk mengais barang-barang bekas di sampah-sampah. Mungkin bisa dikatakan, menjadi pemulung itu pekerjaan sambilannya di hari Minggu. Banyak yang sepertinya. Bahkan tak sedikit anak-anak yang telah berkeliaran di pagi buta menyangking sebuah karung di pundak dengan membawa sebuah tongkat pemilah sampah.
“I close the door. Like so many time so many time before. Filmed like a scene on a cutting room floor. I wanna let you walk away tonight without a word…. Baby I would tell you everytime you leave, I’m inconsolable… ”
Riang mencari sumber lagu pop Barat yang didengarnya ketika melintasi sebuah gang di perumahan para dosen universitas di daerahnya. Kepalanya bergerak ke kiri, kanan, belakang. Mencoba siapa yang meng-on-kan tape di pagi buta dengan keras. Akhirnya mata riang tertuju pada satu titik. Sebuah rumah kos mewah.
Tak ada kerjaan kah mereka?’ katanya dalam hati saat matanya menangkap bayangan beberapa orang penghuni rumah kos memutar-mutar kepalanya sambil menirukan sang penyanyi.
Sedang stress kah mereka karena tugas-tugas kuliah? Meski begitu, tak bisakah mereka mengalihkan kejenuhan mereka pada hal-hal yang setidaknya berguna untuk mereka sendiri? Tak kah mereka berpikir bahwa anak-anak kecil yang mengais sampah yang mereka buang, bahkan tak bisa melepas kepenatannya? Ah Sudahlah. Pikiran tak berguna. Hari ini uang menipis. Kontrakan perlu dibayar. Memikirkan orang yang tidak memikirkanku sama saja seperti berenag di kolam yang tak berair.
Begitulah kalimat yang tertulis di otaknya saat gelap malam menjelang di hari Minggu. Lelah. Kini ia baru menyadari bahwa ia merasakannya. Tapi apa daya, kerasnya otak untuk memikirkan cara menggapai imajinasinya tak membuahkan hasil. Hanya pada malam ia dapat melukiskan harapnya.
Aku begitu menggilai malam. Yang mengantarku melakukan wisata harapan.
Aku begitu mennggilai malam yang menunjukkan padaku bahwa dedaunan pun bisa tersungkur, terlelap…
Yang membuatku bisa melihat indah bunga kamboja merah muda yang terasing di gersangnya pelataran.
Aku begitu menggilai malam yang menjadi kanvas semua asa.
Yang menjadi selimut penghangat dan kawan berbincang dikala tiap manusia memejamkan mata ketika ia menjelang.
Aku begitu menggilai malam, yang menjadi pemancar cahaya di kegelapan duniaku. Malam yang ingin kudekap, kujaga dan kulindungi dari fajar yang mengusik ketenangannya. Malam yang menjadi tempat tumpuan kala aku keluar dari sarang yang tiap pagi hingga senja mengurungku dengan segenap resahku.
Aku begitu menggilai malam yang menjadi saksi perjalanan tiap asa yang kulukis di langitnya. Yang menjadi saksi kelelahan manusia. Yang menjadi saksi terlelapnya aku untuk selamanya……
Terima kasih malam….



By_ yraz
In a night, seeking the way to the seventh sky

0 komentar

Posting Komentar